Context of Mesir Kuno

Mesir Kuno adalah peradaban kuno di sebelah timur laut benua Afrika, yang berpusat di daerah hilir Sungai Nil, yakni kawasan yang kini menjadi wilayah negara Mesir. Peradaban ini dimulai dengan unifikasi Mesir Hulu dan Hilir sekitar 3150 SM, dan selanjutnya berkembang selama kurang lebih tiga milenium. Sejarah Mesir Kuno diwarnai dengan periode kerajaan-kerajaan yang stabil dan periode ketidakstabilan yang dikenal sebagai Periode Menengah. Mesir Kuno mencapai puncak kejayaannya pada masa Kerajaan Baru. Selanjutnya, peradaban ini mulai mengalami kemunduran. Mesir ditaklukkan oleh kekuatan-kekuatan asing pada periode akhir. Kekuasaan firaun secara resmi dianggap berakhir pada sekitar 31 SM, ketika Kekaisaran Romawi menaklukkan dan menjadikan wilayah Mesir Ptolemaik sebagai bagian dari provinsi Romawi. Meskipun ini bukanlah pendudukan asing pertama terhadap Mesir, periode kekuasaan Romawi menimbulkan suatu perubahan politik dan agama secara bertahap di lembah Sungai Nil, yang se...Selengkapnya

Mesir Kuno adalah peradaban kuno di sebelah timur laut benua Afrika, yang berpusat di daerah hilir Sungai Nil, yakni kawasan yang kini menjadi wilayah negara Mesir. Peradaban ini dimulai dengan unifikasi Mesir Hulu dan Hilir sekitar 3150 SM, dan selanjutnya berkembang selama kurang lebih tiga milenium. Sejarah Mesir Kuno diwarnai dengan periode kerajaan-kerajaan yang stabil dan periode ketidakstabilan yang dikenal sebagai Periode Menengah. Mesir Kuno mencapai puncak kejayaannya pada masa Kerajaan Baru. Selanjutnya, peradaban ini mulai mengalami kemunduran. Mesir ditaklukkan oleh kekuatan-kekuatan asing pada periode akhir. Kekuasaan firaun secara resmi dianggap berakhir pada sekitar 31 SM, ketika Kekaisaran Romawi menaklukkan dan menjadikan wilayah Mesir Ptolemaik sebagai bagian dari provinsi Romawi. Meskipun ini bukanlah pendudukan asing pertama terhadap Mesir, periode kekuasaan Romawi menimbulkan suatu perubahan politik dan agama secara bertahap di lembah Sungai Nil, yang secara efektif menandai berakhirnya perkembangan peradaban merdeka Mesir.

Peradaban Mesir Kuno didasari atas pengendalian keseimbangan yang baik antara sumber daya alam dan manusia, terutama ditandai dengan:

  • Irigasi teratur terhadap Lembah Nil;
  • Pendayagunaan mineral dari lembah dan wilayah gurun di sekitarnya;
  • Perkembangan sistem tulisan dan sastra;
  • Organisasi proyek kolektif;
  • Perdagangan dengan wilayah Afrika Timur dan Tengah serta Mediterania Timur; serta
  • Kegiatan militer yang menunjukkan kekuasaan terhadap kebudayaan suku bangsa lain pada beberapa periode yang berbeda.

Pengelolaan kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan oleh penguasa sosial, politik, dan ekonomi, yang berada di bawah pengawasan sosok firaun.

Pencapaian-pencapaian peradaban Mesir Kuno antara lain: teknik pembangunan monumen seperti piramida, kuil, dan obelisk; pengetahuan matematika; teknik pengobatan; sistem irigasi dan agrikultur; kapal pertama yang pernah diketahui; teknologi tembikar glasir bening dan kaca; seni dan arsitektur yang baru; sastra Mesir Kuno; dan traktat perdamaian pertama yang pernah diketahui. Mesir telah meninggalkan warisan yang abadi. Seni dan arsitekturnya banyak ditiru, dan barang-barang antik buatan peradaban ini dibawa hingga ke ujung dunia. Reruntuhan-reruntuhan monumental-nya menjadi inspirasi bagi pengelana dan penulis selama berabad-abad.

More about Mesir Kuno

Riwayat
  • Daftar Dinasti
    pada zaman Mesir Kuno

    Periode Pra-Dinasti Periode Proto-Dinasti Periode Dinasti Awal ke-1 ke-2 Kerajaan Lama ke-3 ke-4 ke-5 ke-6 Periode Menengah Pertama ke-7 ke-8 ke-9 ke-10 ke-11 (hanya Thebes) Kerajaan Pertengahan ke-11 (seluruh Mesir) ke-12 ke-13 ke-14 Periode Menengah Kedua ke-15 ke-16 ke-17 Kerajaan Baru ke-18 ke-19 ke-20 Periode Menengah Ketiga ke-21 ke-22 ke-23 ke-24 ke-25 Periode Akhir ke-26 ke-27 (Periode Persia Pertama) ke-28 ke-29 ke-30 ke-31 (Periode Persia Kedua) Periode Yunani-Romawi Alexander Agung Dinasti Ptolemaik Mesir Romawi Serbuan Arab

    Pada akhir masa Paleolitik, iklim Afrika Utara menjadi semakin panas dan kering. Akibatnya, penduduk di wilayah tersebut terpaksa berpusat di sepanjang sungai Nil. Sebelumnya, semenjak manusia pemburu-pengumpul mulai tinggal di wilayah tersebut pada akhir Pleistosen Tengah (sekitar 120 ribu tahun lalu), sungai Nil telah menjadi urat nadi kehidupan Mesir.[1] Dataran banjir Nil yang subur memberikan kesempatan bagi manusia untuk mengembangkan pertanian dan masyarakat yang terpusat dan mutakhir, yang menjadi landasan bagi sejarah peradaban manusia.[2]

    ...Selengkapnya

    Daftar Dinasti
    pada zaman Mesir Kuno

    Periode Pra-Dinasti Periode Proto-Dinasti Periode Dinasti Awal ke-1 ke-2 Kerajaan Lama ke-3 ke-4 ke-5 ke-6 Periode Menengah Pertama ke-7 ke-8 ke-9 ke-10 ke-11 (hanya Thebes) Kerajaan Pertengahan ke-11 (seluruh Mesir) ke-12 ke-13 ke-14 Periode Menengah Kedua ke-15 ke-16 ke-17 Kerajaan Baru ke-18 ke-19 ke-20 Periode Menengah Ketiga ke-21 ke-22 ke-23 ke-24 ke-25 Periode Akhir ke-26 ke-27 (Periode Persia Pertama) ke-28 ke-29 ke-30 ke-31 (Periode Persia Kedua) Periode Yunani-Romawi Alexander Agung Dinasti Ptolemaik Mesir Romawi Serbuan Arab

    Pada akhir masa Paleolitik, iklim Afrika Utara menjadi semakin panas dan kering. Akibatnya, penduduk di wilayah tersebut terpaksa berpusat di sepanjang sungai Nil. Sebelumnya, semenjak manusia pemburu-pengumpul mulai tinggal di wilayah tersebut pada akhir Pleistosen Tengah (sekitar 120 ribu tahun lalu), sungai Nil telah menjadi urat nadi kehidupan Mesir.[1] Dataran banjir Nil yang subur memberikan kesempatan bagi manusia untuk mengembangkan pertanian dan masyarakat yang terpusat dan mutakhir, yang menjadi landasan bagi sejarah peradaban manusia.[2]

    Periode Pradinasti

    Pada masa pra dan awal dinasti, iklim Mesir lebih subur daripada saat ini. Sebagian wilayah Mesir ditutupi oleh sabana berhutan dan dilalui oleh ungulata yang merumput. Flora dan fauna lebih produktif dan sungai Nil menopang kehidupan unggas air. Perburuan merupakan salah satu mata pencaharian utama orang Mesir. Selain itu, pada periode ini, banyak hewan yang didomestikasi, termasuk kambing, domba, sapi, keledai, dan unggas.[3]

     
    Guci pada periode pradinasti.

    Sekitar tahun 5500 SM, suku-suku kecil yang menetap di lembah sungai Nil telah berkembang menjadi peradaban yang menguasai pertanian dan peternakan. Peradaban mereka juga dapat dikenal melalui tembikar dan barang-barang pribadi, seperti sisir, gelang tangan, dan manik. Peradaban yang terbesar di antara peradaban-peradaban awal adalah Badari di Mesir Hulu, yang dikenal akan keramik, peralatan batu, dan penggunaan tembaga.[4]

    Di Mesir Utara, Badari diikuti oleh peradaban Amratia dan Gerzia,[5] yang menunjukkan beberapa pengembangan teknologi. Bukti awal menunjukkan adanya hubungan antara Gerzia dengan Kanaan dan pantai Byblos.[6]

    Sementara itu, di Mesir Selatan, peradaban Naqada, mirip dengan Badari, mulai memperluas kekuasaannya di sepanjang sungai Nil sekitar tahun 4000 SM. Sejak masa Naqada I, orang Mesir pra dinasti mengimpor obsidian dari Ethiopia, untuk membentuk pedang dan benda lain yang terbuat dari flake.[7] Setelah sekitar 1000 tahun, peradaban Naqada berkembang dari masyarakat pertanian yang kecil menjadi peradaban yang kuat. Pemimpin mereka berkuasa penuh atas rakyat dan sumber daya alam lembah sungai Nil.[8] Setelah mendirikan pusat kekuatan di Hierakonpolis, dan lalu di Abydos, penguasa-penguasa Naqada III memperluas kekuasaan mereka ke utara.[9]

    Budaya Naqada membuat berbagai macam barang-barang material - yang menunjukkan peningkatan kekuasaan dan kekayaan dari para penguasanya - seperti tembikar yang dicat, vas batu dekoratif yang berkualitas tinggi, pelat kosmetik, dan perhiasan yang terbuat dari emas, lapis, dan gading. Mereka juga mengembangkan glasir keramik yang dikenal dengan nama tembikar glasir bening.[10] Pada fase akhir masa pra dinasti, peradaban Naqada mulai menggunakan simbol-simbol tulisan yang akan berkembang menjadi sistem hieroglif untuk menulis bahasa Mesir kuno.[11]

    Periode Dinasti Awal
     
    Pelat Narmer menggambarkan penyatuan Mesir Hulu dan Hilir.[12]

    Pendeta Mesir pada abad ke-3 SM, Manetho mengelompokan garis keturunan firaun yang panjang dari Menes ke masanya menjadi 30 dinasti. Sistem ini masih digunakan hingga hari ini.[13] Ia memilih untuk memulai sejarah resminya melalui raja yang bernama "Meni" (atau Menes dalam bahasa Yunani), yang dipercaya telah menyatukan kerajaan Mesir Hulu dan Hilir (sekitar 3200 SM).[14] Transisi menuju negara kesatuan sejatinya berlangsung lebih bertahap, berbeda dengan apa yang ditulis oleh penulis-penulis Mesir Kuno, dan tidak ada catatan kontemporer mengenai Menes. Beberapa ahli kini meyakini bahwa figur "Menes" mungkin merupakan Narmer, yang digambarkan mengenakan tanda kebesaran kerajaan pada pelat Narmer yang merupakan simbol unifikasi.[15]

    Pada Periode Dinasti Awal, sekitar 3150 SM, firaun pertama memperkuat kekuasaan mereka terhadap Mesir hilir dengan mendirikan ibu kota di Memphis. Dengan ini, firaun dapat mengawasi pekerja, pertanian, dan jalur perdagangan ke Levant yang penting dan menguntungkan. Peningkatan kekuasaan dan kekayaan firaun pada periode dinasti awal dilambangkan melalui mastaba (makam) yang rumit dan struktur-struktur kultus kamar mayat di Abydos, yang digunakan untuk merayakan didewakannya firaun setelah kematiannya.[16] Institusi kerajaan yang kuat dikembangkan oleh firaun untuk mengesahkan kekuasaan negara atas tanah, pekerja, dan sumber daya alam, yang penting bagi pertumbuhan peradaban Mesir kuno.[17]

    Kerajaan Lama
     
    Patung firaun Menkaura di Boston Museum of Fine Arts.

    Kemajuan dalam bidang arsitektur, seni, dan teknologi dibuat pada masa Kerajaan Lama. Kemajuan ini didorong oleh meningkatnya produktivitas pertanian, yang dimungkinkan karena pemerintahan pusat dibina dengan baik.[18] Di bawah pengarahan wazir, pejabat-pejabat negara mengumpulkan pajak, mengatur proyek irigasi untuk meningkatkan hasil panen, mengumpulkan petani untuk bekerja di proyek-proyek pembangunan, dan menetapkan sistem keadilan untuk menjaga keamanan.[19] Dengan surplus sumber daya yang ada karena ekonomi yang produktif dan stabil, negara mampu membiayai pembangunan proyek-proyek kolosal dan menugaskan pembuatan karya-karya seni istimewa. Piramida yang dibangun oleh Djoser, Khufu, dan keturunan mereka merupakan simbol peradaban Mesir Kuno yang paling diingat.

    Seiring dengan meningkatnya kepentingan pemerintah pusat, muncul golongan juru tulis (sesh[20]) dan pejabat berpendidikan, yang diberikan tanah oleh firaun sebagai bayaran atas jasa mereka. Firaun juga memberikan tanah kepada struktur-struktur kultus kamar mayat dan kuil-kuil lokal untuk memastikan bahwa institusi-institusi tersebut memiliki sumber daya yang cukup untuk memuja firaun setelah kematiannya. Pada akhir periode Kerajaan Lama, lima abad berlangsungnya praktik-praktik feudal pelan-pelan mengikis kekuatan ekonomi firaun. Firaun tak lagi mampu membiayai pemerintahan terpusat yang besar.[21] Dengan berkurangnya kekuatan firaun, gubernur regional yang disebut nomark mulai menantang kekuatan firaun. Hal ini diperburuk dengan terjadinya kekeringan besar antara tahun 2200 hingga 2150 SM,[22] sehingga Mesir Kuno memasuki periode kelaparan dan perselisihan selama 140 tahun yang dikenal sebagai Periode Menengah Pertama Mesir.[23]

    Periode Menengah Pertama Mesir

    Setelah pemerintahan pusat Mesir runtuh pada akhir periode Kerajaan Lama, pemerintah tidak lagi mampu mendukung atau menstabilkan ekonomi negara. Gubernur-gubernur regional tidak dapat menggantungkan diri kepada firaun pada masa krisis. Kekurangan pangan dan sengketa politik meningkat menjadi kelaparan dan perang saudara berskala kecil. Meskipun berada pada masa yang sulit, pemimpin-pemimpin lokal, yang tidak berhutang upeti kepada firaun, menggunakan kebebasan baru mereka untuk mengembangkan budaya di provinsi-provinsi. Setelah menguasai sumber daya mereka sendiri, provinsi-provinsi menjadi lebih kaya. Fakta ini dibuktikan dengan adanya pemakaman yang lebih besar dan baik di antara kelas-kelas sosial lainnya.[24] Dengan meningkatnya kreativitas, pengrajin-pengrajin provinsial menerapkan dan mengadaptasi motif-motif budaya yang sebelumnya dibatasi oleh Kerajaan Lama. Juru-juru tulis mengembangkan gaya yang melambangkan optimisme dan keaslian periode.[25]

    Bebas dari kesetiaan kepada firaun, pemimpin-pemimpin lokal mulai berebut kekuasaan. Pada 2160 SM, penguasa-penguasa di Herakleopolis menguasai Mesir Hilir, sementara keluarga Intef di Thebes mengambil alih Mesir Hulu. Dengan berkembangnya kekuatan Intef, serta perluasan kekuasaan mereka ke utara, maka pertempuran antara kedua dinasti sudah tak terhindarkan lagi. Sekitar tahun 2055 SM, tentara Thebes di bawah pimpinan Nebhepetre Mentuhotep II berhasil mengalahkan penguasa Herakleopolis, menyatukan kembali kedua negeri, dan memulai periode renaisans budaya dan ekonomi yang dikenal sebagai Kerajaan Pertengahan.[26]

    Kerajaan Pertengahan
     
    Amenemhat III, penguasa terakhir Kerajaan Pertengahan.

    Firaun Kerajaan Pertengahan berhasil mengembalikan kesejahteraan dan kestabilan negara, sehingga mendorong kebangkitan seni, sastra, dan proyek pembangunan monumen.[27] Mentuhotep II dan sebelas dinasti penerusnya berkuasa dari Thebes, tetapi wazir Amenemhat I, sebelum memperoleh kekuasaan pada awal dinasti ke-12 (sekitar tahun 1985 SM), memindahkan ibu kota ke Itjtawy di Oasis Faiyum.[28] Dari Itjtawy, firaun dinasti ke-12 melakukan reklamasi tanah dan irigasi untuk meningkatkan hasil panen. Selain itu, tentara kerajaan berhasil merebut kembali wilayah yang kaya akan emas di Nubia, sementara pekerja-pekerja membangun struktur pertahanan di Delta Timur, yang disebut "tembok-tembok penguasa", sebagai perlindungan dari serangan asing.[29]

    Maka populasi, seni, dan agama negara mengalami perkembangan. Berbeda dengan pandangan elitis Kerajaan Lama terhadap dewa-dewa, Kerajaan Pertengahan mengalami peningkatan ungkapan kesalehan pribadi. Selain itu, muncul sesuatu yang dapat dikatakan sebagai demokratisasi setelah akhirat; setiap orang memiliki arwah dan dapat diterima oleh dewa-dewa di akhirat.[30] Sastra Kerajaan Pertengahan menampilkan tema dan karakter yang canggih, yang ditulis menggunakan gaya percaya diri dan elok,[25] sementara relief dan pahatan potret pada periode ini menampilkan ciri-ciri kepribadian yang lembut, yang mencapai tingkat baru dalam kesempurnaan teknis.[31]

    Penguasa terakhir Kerajaan Pertengahan, Amenemhat III, memperbolehkan pendatang dari Asia tinggal di wilayah delta untuk memenuhi kebutuhan pekerja, terutama untuk penambangan dan pembangunan. Penambangan dan pembangunan yang ambisius, ditambah dengan meluapnya sungai Nil, membebani ekonomi dan mempercepat kemunduran selama masa dinasti ke-13 dan ke-14. Semasa kemunduran, pendatang dari Asia mulai menguasai wilayah delta, yang selanjutnya mulai berkuasa di Mesir sebagai Hyksos.[32]

    Periode Menengah Kedua dan Hyksos

    Sekitar tahun 1650 SM, seiring dengan melemahnya kekuatan firaun Kerajaan Pertengahan, imigran Asia yang tinggal di kota Avaris mengambil alih kekuasaan dan memaksa pemerintah pusat mundur ke Thebes. Di sana firaun diperlakukan sebagai vasal dan diminta untuk membayar upeti.[33] Hyksos ("penguasa asing") meniru gaya pemerintahan Mesir dan menggambarkan diri mereka sebagai firaun. Maka elemen Mesir menyatu dengan budaya Zaman Perunggu Pertengahan mereka.[34]

    Setelah mundur, raja Thebes melihat situasinya yang terperangkap antara Hyksos di utara dan sekutu Nubia Hyksos, Kerajaan Kush, di selatan. Setelah hampir 100 tahun mengalami masa stagnansi, pada tahun 1555 SM, Thebes telah mengumpulkan kekuatan yang cukup untuk melawan Hyksos dalam konflik selama 30 tahun.[33] Firaun Seqenenre Tao II dan Kamose berhasil mengalahkan orang-orang Nubia. Pengganti Kamose, Ahmose I, berhasil mengusir Hyksos dari Mesir. Selanjutnya, pada periode Kerajaan Baru, kekuatan militer menjadi prioritas utama firaun agar dapat memperluas perbatasan Mesir dan menancapkan kekuasaan atas wilayah Timur Dekat.[35]

     
    Wilayah terluas Mesir Kuno (abad ke-15 SM).
    Kerajaan Baru

    Firaun-firaun Kerajaan Baru berhasil membawa kesejahteraan yang tak tertandingi sebelumnya. Perbatasan diamankan dan hubungan diplomatik dengan tetangga-tetangga diperkuat. Kampanye militer yang dikobarkan oleh Tuthmosis I dan cucunya Tuthmosis III memperluas pengaruh firaun ke Suriah dan Nubia, memperkuat kesetiaan, dan membuka jalur impor komoditas yang penting seperti perunggu dan kayu.[36] Firaun-firaun Kerajaan juga memulai pembangunan besar untuk mengangkat dewa Amun, yang kultusnya berbasis di Karnak. Para firaun juga membangun monumen untuk memuliakan pencapaian mereka sendiri, baik nyata maupun imajiner. Firaun perempuan Hatshepsut menggunakan propaganda semacam itu untuk mengesahkan kekuasaannya.[37] Masa kekuasaannya yang berhasil dibuktikan oleh ekspedisi perdagangan ke Punt, kuil kamar mayat yang elegan, pasangan obelisk kolosal, dan kapel di Karnak.

     
    Patung Ramses II di pintu masuk kuil Abu Simbel.

    Sekitar tahun 1350 SM, stabilitas Kerajaan Baru terancam ketika Amenhotep IV naik tahta dan melakukan reformasi yang radikal dan kacau. Ia mengubah namanya menjadi Akhenaten. Akhenaten memuja dewa matahari Aten sebagai dewa tertinggi. Ia lalu menekan pemujaan dewa-dewa lain.[38] Akhenaten juga memindahkan ibu kota ke kota baru yang bernama Akhetaten (kini Amarna). Ia tidak memperdulikan masalah luar negeri dan terlalu asyik dengan gaya religius dan artistiknya yang baru. Setelah kematiannya, kultus Aten segera ditinggalkan, dan firaun-firaun selanjutnya, yaitu Tutankhamun, Ay, dan Horemheb, menghapus semua penyebutan mengenai bidaah Akhenaten.[39]

    Ramses II naik tahta pada tahun 1279 SM. Ia membangun lebih banyak kuil, mendirikan patung-patung dan obelisk, serta dikaruniai anak yang lebih banyak daripada firaun-firaun lain dalam sejarah.[40] Sebagai seorang pemimpin militer yang berani, Ramses II memimpin tentaranya melawan bangsa Het dalam pertempuran Kadesh. Setelah bertempur hingga mencapai kebuntuan (stalemate), ia menyetujui traktat perdamaian pertama yang tercatat sekitar 1258 SM.[41]

    Kekayaan menjadikan Mesir sebagai target serangan, terutama oleh orang-orang Laut dan Libya. Tentara Mesir mampu mengusir serangan-serangan itu, namun Mesir akan kehilangan kekuasaan atas Suriah dan Palestina. Pengaruh dari ancaman luar diperburuk dengan masalah internal seperti korupsi, penjarahan makam, dan kerusuhan. Pendeta-pendeta agung di kuil Amun, Thebes, mengumpulkan tanah dan kekayaan yang besar, dan kekuatan mereka memecahkan negara pada masa Periode Menengah Ketiga.[42]

     
    Pada tahun 730 SM, orang-orang Libya dari barat memecahkan kesatuan politik Mesir Kuno.
    Periode Menengah Ketiga

    Setelah kematian firaun Ramses XI tahun 1078 SM, Smendes mengambil alih kekuasaan Mesir utara. Ia berkuasa dari kota Tanis. Sementara itu, wilayah selatan dikuasai oleh pendeta-pendeta agung Amun di Thebes, yang hanya mengakui nama Smendes saja.[43] Pada masa ini, orang-orang Libya telah menetap di delta barat, dan kepala-kepala suku penetap tersebut mulai meningkatkan otonomi mereka. Pangeran-pangeran Libya mengambil alih delta di bawah pimpinan Shoshenq I pada tahun 945 SM. Mereka lalu mendirikan dinasti Bubastite yang akan berkuasa selama 200 tahun. Shoshenq juga mengambil alih Mesir selatan dengan menempatkan keluarganya dalam posisi kependetaan yang penting. Kekuasaan Libya mulai mengikis akibat munculnya dinasti saingan di Leontopolis, dan ancaman Kush di selatan. Sekitar tahun 727 SM, raja Kush, Piye, menyerbu ke arah utara. Ia berhasil menguasai Thebes dan delta.[44]

    Martabat Mesir terus menurun pada Periode Menengah Ketiga. Sekutu asingnya telah jatuh kedalam pengaruh Asiria, dan pada 700 SM, perang antara kedua negara sudah tak terhindarkan lagi. Antara tahun 671 hingga 667 SM, bangsa Asiria mulai menyerang Mesir. Masa kekuasaan raja Kush, Taharqa, dan penerusnya, Tanutamun, dipenuhi dengan konflik melawan Asiria.[45] Akhirnya, bangsa Asiria berhasil memukul mundur Kush kembali ke Nubia. Mereka juga menduduki Memphis dan menjarah kuil-kuil di Thebes.[46]

    Periode Akhir

    Dengan tiadanya rencana pendudukan permanen, bangsa Asiria menyerahkan kekuasaan Mesir kepada vassal-vassal yang dikenal sebagai raja-raja Sais dari dinasti ke-26. Pada tahun 653 SM, raja Sais Psamtik I berhasil mengusir bangsa Asiria dengan bantuan tentara bayaran Yunani yang direkrut untuk membentuk angkatan laut pertama Mesir. Selanjutnya, pengaruh Yunani meluas dengan cepat. Kota Naukratis menjadi tempat tinggal orang-orang Yunani di delta.

    Di bawah raja-raja Sais, Mesir mengalami kebangkitan singkat ekonomi dan budaya. Sayangnya, pada tahun 525 SM, bangsa Persia yang dipimpin oleh Cambyses II memulai penaklukan terhadap Mesir. Mereka berhasil menangkap firaun Psamtik III dalam pertempuran di Pelusium. Cambyses II lalu mengambil alih gelar firaun. Ia berkuasa dari kota Susa, dan menyerahkan Mesir kepada seorang satrapi. Pemberontakan-pemberontakan meletus pada abad ke-5 SM, tetapi tidak ada satupun yang berhasil mengusir bangsa Persia secara permanen.[47]

    Setelah dikuasai Persia, Mesir digabungkan dengan Siprus dan Fenisia dalam satrapi ke-6 Kekaisaran Persia Akhemeniyah. Periode pertama kekuasaan Persia atas Mesir, yang juga dikenal sebagai dinasti ke-27, berakhir pada tahun 402 SM. Dari 380–343 SM, dinasti ke-30 berkuasa sebagai dinasti asli terakhir Mesir. Restorasi singkat kekuasaan Persia, kadang-kadang dikenal sebagai dinasti ke-31, dimulai dari tahun 343 SM. Akan tetapi, pada 332 SM, penguasa Persia, Mazaces, menyerahkan Mesir kepada Alexander yang Agung tanpa perlawanan.[48]

    Dinasti Ptolemeus

    Pada tahun 332 SM, Alexander yang Agung menaklukan Mesir dengan sedikit perlawanan dari bangsa Persia. Pemerintahan yang didirikan oleh penerus Alexander dibuat berdasarkan sistem Mesir, dengan ibu kota di Iskandariyah. Kota tersebut menunjukkan kekuatan dan martabat kekuasaan Yunani, dan menjadi pusat pembelajaran dan budaya yang berpusat di Perpustakaan Iskandariyah.[49] Mercusuar Iskandariyah membantu navigasi kapal-kapal yang berdagang di kota tersebut, terutama setelah penguasa dinasti Ptolemeus memberdayakan perdagangan dan usaha-usaha, seperti produksi papirus.[50]

    Budaya Yunani tidak menggantikan budaya asli Mesir. Penguasa dinasti Ptolemeus mendukung tradisi lokal untuk menjaga kesetiaan rakyat. Mereka membangun kuil-kuil baru dalam gaya Mesir, mendukung kultus tradisional, dan menggambarkan diri mereka sebagai firaun. Beberapa tradisi akhirnya bergabung. Dewa-dewa Yunani dan Mesir disinkretkan sebagai dewa gabungan (contoh: Serapis). Bentuk skulptur Yunani Kuno juga memengaruhi motif-motif tradisional Mesir. Meskipun telah terus berusaha memenuhi tuntutan warga, dinasti Ptolemeus tetap menghadapi berbagai tantangan, seperti pemberontakan, persaingan antar keluarga, dan massa di Iskandariyah yang terbentuk setelah kematian Ptolemeus IV.[51] Lebih lagi, bangsa Romawi memerlukan gandum dari Mesir, dan mereka tertarik akan situasi politik di negeri Mesir. Pemberontakan yang terus berlanjut, politikus yang ambisius, serta musuh yang kuat di Suriah membuat kondisi menjadi tidak stabil, sehingga bangsa Romawi mengirim tentaranya untuk mengamankan Mesir sebagai bagian dari kekaisarannya.[52]

    Dominasi Romawi
     
    Potret-potret mumi Fayum melambangkan pertemuan budaya Mesir dengan Romawi.

    Mesir menjadi provinsi Kekaisaran Romawi pada tahun 30 SM setelah Augustus berhasil mengalahkan Mark Antony dan Ratu Cleopatra VII dalam Pertempuran Actium. Romawi sangat memerlukan gandum dari Mesir, dan legiun Romawi, di bawah kekuasaan praefectus yang ditunjuk oleh kaisar, memadamkan pemberontakan, memungut pajak yang besar, serta mencegah serangan bandit.[53]

    Meskipun Romawi berlaku lebih kasar daripada Yunani, beberapa tradisi, seperti mumifikasi dan pemujaan dewa-dewa, tetap berlanjut.[54] Seni potret mumi berkembang, dan beberapa kaisar Romawi menggambarkan diri mereka sebagai firaun (meskipun tidak sejauh penguasa-penguasa dinasti Ptolemeus). Pemerintahan lokal diurus dengan gaya Romawi dan tertutup dari gaya Mesir asli.[54]

    Pada pertengahan abad pertama, Kekristenan mulai mengakar di Iskandariyah. Agama tersebut dipandang sebagai kultus lain yang akan diterima. Akan tetapi, Kekristenan pada akhirnya dianggap sebagai agama yang ingin menggantikan paganisme dan mengancam tradisi agama lokal, sehingga muncul penyerangan terhadap orang-orang Kristen. Penyerangan terhadap orang Kristen memuncak pada masa pembersihan Diokletianus yang dimulai tahun 303. Akan tetapi, Kristen berhasil menang.[55] Pada tahun 391, kaisar Kristen Theodosius memperkenalkan undang-undang yang melarang ritus-ritus pagan dan menutup kuil-kuil.[56] Iskandariyah menjadi latar kerusuhan anti-pagan yang besar.[57] Akibatnya, budaya pagan Mesir terus mengalami kejatuhan. Meskipun penduduk asli masih mampu menuturkan bahasa mereka, kemampuan untuk membaca hieroglif terus berkurang karena melemahnya peran pendeta kuil Mesir. Sementara itu, kuil-kuil dialihfungsikan menjadi gereja, atau ditinggalkan begitu saja.[58]

    ^ Shaw (2002) hal. 17 ^ Shaw (2002) hal. 17, 67–69 ^ Ikram, Salima (1992). Choice Cuts: Meat Production in Ancient Egypt. University of Cambridge. hlm. 5. ISBN 9789068317459. OCLC 60255819. Diakses tanggal 22 Juli 2009.  LCCN 1997-140867 ^ Hayes (1964) hal. 220 ^ Childe, V. Gordon (1953), "New light on the most ancient Near East" (Praeger Publications) ^ Patai, Raphael (1998), "Children of Noah: Jewish Seafaring in Ancient Times" (Princeton Uni Press) ^ Barbara G. Aston, James A. Harrell, Ian Shaw (2000). Paul T. Nicholson and Ian Shaw editors. "Stone," in Ancient Egyptian Materials and Technology, Cambridge, 5–77, hal. 46–47. Also note: Barbara G. Aston (1994). "Ancient Egyptian Stone Vessels," Studien zur Archäologie und Geschichte Altägyptens 5, Heidelberg, hal. 23–26. (See on-line posts: [1] and [2].) ^ "Chronology of the Naqada Period". Digital Egypt for Universities, University College London. Diakses tanggal 9 March 2008.  ^ Shaw (2002) hal. 61 ^ "Faience in different Periods". Digital Egypt for Universities, University College London. Diakses tanggal 9 March 2008.  ^ Allen (2000) hal. 1 ^ Robins (1997) hal. 32 ^ Clayton (1994) hal. 6 ^ Shaw (2002) hal. 78–80 ^ Clayton (1994) hal. 12–13 ^ Shaw (2002) hal. 70 ^ "Early Dynastic Egypt". Digital Egypt for Universities, University College London. Diakses tanggal 9 March 2008.  ^ James (2005) hal. 40 ^ Shaw (2002) hal. 102 ^ "Scribes", Life in Ancient Egypt, Carnegie Museum of Natural History: [3] Diarsipkan 2009-01-25 di Wayback Machine.. Diakses pada 29 Januari 2009. ^ Shaw (2002) hal. 116–7 ^ Fekri Hassan. "The Fall of the Old Kingdom". British Broadcasting Corporation. Diakses tanggal 10 March 2008.  ^ Clayton (1994) hal. 69 ^ Shaw (2002) hal. 120 ^ a b Shaw (2002) hal. 146 ^ Clayton (1994) hal. 29 ^ Shaw (2002) hal. 148 ^ Clayton (1994) hal. 79 ^ Shaw (2002) hal. 158 ^ Shaw (2002) hal. 179–82 ^ Robins (1997) hal. 90 ^ Shaw (2002) hal. 188 ^ a b Ryholt (1997) hal. 310 ^ Shaw (2002) hal. 189 ^ Shaw (2002) hal. 224 ^ James (2005) hal. 48 ^ "Hatshepsut". Digital Egypt for Universities, University College London. Diakses tanggal 9 December 2007.  ^ Aldred (1988) hal. 259 ^ Cline (2001) hal. 273 ^ Clayton (1994) hal. 146 ^ Tyldesley (2001) hal. 76–7 ^ James (2005) hal. 54 ^ Cerny (1975) hal. 645 ^ Shaw (2002) hal. 345 ^ ""The Kushite Conquest of Egypt", Ancient~Sudan: Nubia". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-05-21. Diakses tanggal 2010-10-06.  ^ Shaw (2002) hal. 358 ^ Shaw (2002) hal. 383 ^ Shaw (2002) hal. 385 ^ Shaw (2002) hal. 405 ^ Shaw (2002) hal. 411 ^ Shaw (2002) hal. 418 ^ James (2005) hal. 62 ^ James (2005) hal. 63 ^ a b Shaw (2002) hal. 422 ^ Shaw (2003) hal. 431 ^ "The Church in Ancient Society", Henry Chadwick, hal. 373, Oxford University Press US, 2001, ISBN 0-19-924695-5 ^ "Christianizing the Roman Empire A.D 100–400", Ramsay MacMullen, hal. 63, Yale University Press, 1984, ISBN 0-300-03216-1 ^ Shaw (2002) hal. 445
    Read less

Where can you sleep near Mesir Kuno ?

Booking.com
489.288 visits in total, 9.196 Points of interest, 404 Destinations, 115 visits today.